..::SELAMAT DATANG DI RIDWAN SYAIDI TARIGAN & PARTNERS::.. ADVOKAT | PENGACARA | KONSULTAN HUKUM::......

KEPUASAN CLIENT

Sebuah kepuasan client yang menggunakan Jasa kami merupakan modal utama law firm RIDWAN SYAIDI TARIGAN dan PARTNERS, sehingga kami akan bekerja dan client akan tersenyum

MEMBERIKAN SOLUSI

Didalam sebuah permasalahan yang dihadapi oleh client kami memberikan solusi

PELAYANAN YANG RAMAH

Law Firm RIDWAN SYAIDI TARIGAN dan PARTNERS, memiliki para staff yang ramah dan siap melayani.

PARTNERS YANG PROFESIONAL

Law Firm RIDWAN SYAIDI TARIGAN dan PARTNERS, memiliki partners yang profesional dan ahli dalam beberapa bidang hukum

PERSAUDARAAN PEKERJA MUSLIM INDONESIA

Ridwan Syaidi Tarigan, seorang advokat yang juga diberikan kepercayaan dan amanah menjadi Ketua PPMI Cabang Jakarta Barat

Pimpinan YLKBH Meraih Predikat Doktor


Fakultas Hukum (FH) Universitas Borobudur menggelar ujian terbuka promosi doktor Ilmu Hukum di Gedung D pascasarjana pada Kamis, q18 Januari 2024.

Promovendus Ridwan Syaidi, S.H., M.H., mempresentasikan hasil penelitiannya secara langsung di hadapan tim penguji yang dipimpin Wakil Rektor  Prof. Dr. Ir. H. Rudi Bratamanggala.MM., yang mewakili Rektor Universitas borobudur.

Sidang promosi doktor ini turut dihadiri tim penguji internal, antara lain Sekretaris Prof. Dr. faisal santiago,SH.MM., Penguji Dr. KMS. Herman, SH. MH. MSi. , M.Hum., Promotor Prof.Dr. Zaenal Arifin Hoesein, SH. MH., Co-Promotor Dr. Ahmad Redi, SH.MH.MSi dan Penguji Eksternal Prof. Dr. Henny Nuraeni, SH. MH

Ridwan Syaidi dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude dan berhak menyandang gelar doktor usai mempresentasikan disertasinya berjudul “PENYELESAIAN PERKARA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XX/2022 TERHADAP PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK DI INDONESIA”. Dengan kelulusannya, Ridwan Syaidi menjadi lulusan ke-218 pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur.

Dalam disertasinya, promovendus menyoroti kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK)  dalam perselisihan hasil pilkada yang mana terjadi perubahan pendirian yang termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XX/2022, yang mana awalnya  Pendirian Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan putusannya Nomor 001-002/PUU-XII/2014, Tanggal 13 Febuari 2014 kewenangan lembaga Negara yang secara limitatif ditentukan oleh Undang-Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat ditambah atau di kurangi oleh Undang-Undang maupun putusan Mahkamah Konstitusi karena akan mengambil peran sebagai pembentuk Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 adalah inkonstitusional.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan tentang hasil  pemilihan kepala daerah ini merupakan kewenangan tambahan yang berasal dari undang-undang, di luar kewenangan pokok yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) serta ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menurut Ridwan Syaidi, penambahan kewenangan yang dipegang oleh Mahkamah Konstitusi harus diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, bukan dengan undang-undang

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 bersifat inkonstitusional, dikarenakan Pemilukada tidaklah termasuk dalam rezim Pemilu dan Mahkamah Konstitusi menghapus kewenangan tambahan untuk mengadili perselisihan hasil pemilukada di luar kewenangan yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Sehingga Ridwan Syaidi berharap tetap dibentuknya peradilan khusus yang dapat menangani sengketa proses administrasi, tindak pidana pemilu dan perselisihan hasil dan keberadaannya bersifat adhock dan berada di tingkatan provinsi dan putusan bersifat final.

Pada saat momen kelulusan, Prof. Dr. Ir. H. Rudi Bratamanggala.MM sebagai Ketua Tim Penguji memberikan ucapan selamat dan harapan kepada Ridwan Syaidi.  agar dapat menjaga nama baik  Universitas Borobudur 

Kasus Dugaan Pembunuhan Berencana Ferdy Sambo




      Pict by:JPNN.COM
Irjen Ferdy Sambo telah ditetapkan sebagai tersangka kasus kematian Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat dan diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Ferdy Sambo disangkakan dengan pasal 340 KUHP subsider pasal 338 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
 
"Perbuatan terdakwa Ferdy Sambo, SH., SIK., MH. tersebut di atas sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," kata Jaksa Penuntut Umum Syahnan Tanjung di depan majelis hakim.
 
"Dakwaan subsider kepada terdakwa Ferdy Sambo kami sangkakan pasal subsider nya yaitu pasal; Perbuatan terdakwa Ferdy Sambo tersebut di atas sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," tambahnya.

Pembunuhan berencana dilakukan Ferdy Sambo bersama-sama dengan Ricard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Putri Candrawathi, Rick Rizalwibowo dan Kuat Ma'ruf. Pembunuhan dilakukan pada 8 Juli 2022 di rumah dinas Komplek Polri Duren Tiga No. 46, Jakarta Selatan.
 
Dalam surat dakwaannya, Ferdy Sambo yang memakai sarung tangan hitam disebutkan menembak satu kali Brigadir J yang tergeletak di dekat tangga depan kamar mandi rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, dalam keadaan tertelungkup masih bergerak-gerak kesakitan hingga akhirnya korban meninggal dunia.

Total kini ada empat tersangka, yaitu Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E yang diketahui sebagai penembak langsung Brigadir J, Bripka RR alias Ricky Rizal, KM yang merupakan sopir istri Ferdy Sambo, dan mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo sendiri.
 
Pelaksanaan Proses sidang kasus Ferdy Sambo masih terus berjalan hingga saat ini.


writer by: Admin

PROBLEMATIKA HUKUM IMPLEMENTASI PUTUSAN MK NOMOR 49/PUU-IX/2011

 PROBLEMATIKA HUKUM IMPLEMENTASI PUTUSAN MK NOMOR 49/PUU-IX/2011 (Polemik Penghapusan UU 7 2020 Pasal 59 Ayat 2)

 Ridwan Syaidi Tarigan

 Advokat & Kurator Pada Kantor Hukum RIDWAN SYAIDI TARIGAN & PARTNERS


Abstrak

Menurut  Shaw et.al., (2018) mahkamah konstitusi adalah  salah satu kekuatan pendorong dibalik kebangkitan studi perbandingan hukum tata negara dalam dua dekade terakhir. pembentukan mahkamah konstitusi sebagai ciri utama reformasi konstitusi di negara-negara demokrasi baru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk putusan Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020, dan untuk mengetahui  dampak Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020. Metode yang di gunakan adalah yurudis normatif karena membahas suatu putusan UU nomor 7 tahun 2020 tentang pasal 59 ayat 2 yang dihapus. Hasil penelitian menunjukan  1) Putusan Nomor 49/Puu-IX/2011 yang melakukan penghapusan pada Naskah UU 7/2020 Pasal 59 ayat (2). 2) Ketentuan dalam Pasal 59 Ayat (2) itu dihapus dalam UU MK hasil revisi atau UU Nomor 7 Tahun 2020 yang disahkan DPR. Putusan ini memberikan dampak polemik bagi masyarakat karena dianggap sebagai skenario DPR dan Presiden untuk membatalkan putusan MK, sehingga DPR dan Presiden tidak lagi memiliki penilaian atas penilaian MK. Masyarakat menganggap putusan ini yang  di hubungkan UU cipta kerja dikarenakan dengan dihapusnya pasal 59 ayat 2 maka dapat memungkinkan segala hal yang di hapus pada uu cipta kerja akan sia sia karena masih dalam wewenang president dan DPR.

Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, Wewenang, Normatif, Polemik

 

Abstract

According to Shaw et.al. (2018) the constitutional court is one of the forces behind the revival of comparative studies of constitutional law in the last two decades. The establishment of a constitutional court as the main feature of constitutional reform in new democracies. The purpose of this research is to find out the form of the decision Number 49/Puu-IX/2011 regarding the abolition of Article 59 paragraph 2 of Law Number 7 of 2020, and to find out the impact of Number 49/Puu-IX/2011 concerning the abolition of Article 59 paragraph 2 of the Law. - Law number 7 of 2020?. The method used is normative juridical because it discusses a decision of Law number 7 of 2020 concerning article 59 paragraph 2 which is deleted. The results of the study show 1) Decision Number 49/Puu-IX/2011 which deletes the Manuscript Law 7/2020 Article 59 paragraph (2). 2) The provisions in Article 59 Paragraph (2) were deleted in the results of the revision of the Constitutional Court Law or Law Number 7 of 2020 which was ratified by the DPR. This decision has a polemic impact on the community because it is considered a scenario for the DPR and the President to submit the Constitutional Court's decision, so that the DPR and the President no longer have an assessment of the Constitutional Court. The public considers that this decision is related to the work copyright law because with the abolition of article 59th paragraph 2 it can allow everything that is abolished in the work copyright law to be in vain because it is still under the authority of the president and the DPR.

Keywords: Constitutional Court, Authority, Normative, Polemic

 

1.        Pendahuluan

a.      Latarbelakang

Neil, (2020) menjelaskan konstitusi dapat diartikan sebagai kumpulan aturan yang mengatur sistem pemerintahan dalam suatu negara.  badan-badan dan institusi-institusi yang mempunyai kekuasaan  harus dijalankan. Finer mendefinisikan konstitusi sebagai kode aturan yang bercita-cita untuk mengatur alokasi fungsi, kekuasaan dan tugas di antara berbagai lembaga dan pejabat pemerintah, dan menentukan hubungan antara mereka dan publik. Hamlyn, (2001) menawarkan definisi bahwa Konstitusi adalah seperangkat aturan paling penting yang mengatur hubungan antara berbagai bagian pemerintahan suatu negara tertentu dan juga hubungan antara berbagai bagian pemerintah dan rakyat negara tersebut.

Konstitusi ini adalah hukum tertinggi Republik; hukum atau perilaku yang tidak sesuai dengannya adalah tidak sah, dan kewajiban yang dibebankan padanya harus dipenuhi. Mahkamah Konstitusi adalah yang merupakan pengadilan tertinggi di semua konstitusi. MK memiliki kompetensi untuk memutuskan hal-hal seperti: perselisihan antara unsur unsur masalah negara di lingkup nasional atau provinsi mengenai konstitusi. untuk menentukan masalah konstitusional dapat dilakukan oleh Banding Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, atau pengadilan lain dengan status serupa. Menurut Mark, (2013) Konstitusi mengatur kerangka pemerintahan Ini juga menetapkan beberapa ide politik mendasar (kesetaraan, perwakilan, kebebasan individu) yang membatasi seberapa jauh mayoritas sementara dapat berjalan. Ini adalah hukum kita yang lebih tinggi.

Otoritas konstitusional di banyak negara sering menggunakan praktik yang dikenal sebagai proporsional review (atau hanya proporsionalitas) ketika menentukan makna dan penerapan ketentuan hak konstitusional. Pejabat pemerintah bebas untuk membatasi pelaksanaan semua hak, praktisi setuju, selama pembenaran untuk pembatasan itu cukup terkait dengan pembenaran untuk membatasi hak. Menurut  Shaw et.al., (2018) mahkamah konstitusi adalah  Salah satu kekuatan pendorong dibalik kebangkitan studi perbandingan hukum tata negara dalam dua dekade terakhir. pembentukan mahkamah konstitusi sebagai ciri utama reformasi konstitusi di negara-negara demokrasi baru.

Di era reformasi, Indonesia telah mengambil langkah-langkah reformasi yang komprehensif dengan mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat. Puncak dari upaya tersebut adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam waktu empat tahun berturut-turut, yaitu Amandemen Pertama 1999, Amandemen Kedua pada tahun 2000, Amandemen Ketiga pada tahun 2001, dan Amandemen Keempat pada tahun 2002 MPR. Tujuan dari Amandemen adalah untuk melengkapi aturan dasar dari hidup sebagai negara, yang menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu. Menururt Eddiyono, (2018) Mahkamah Konstitusi Indonesia memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban sesuai dengan diamanatkan oleh Pasal 24C (1) dan (2) UUD 1945. Empat otoritas Mahkamah Konstitusi Indonesia sedang memeriksa pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan MK bersifat final untuk pengujian undang-undang terhadap UUD; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Konstitusi; memutuskan pembubaran partai politik; dan memutuskan perselisihan atas hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi Indonesia akan memberikan putusan berdasarkan Undang-Undang Dasar atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang anggapan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Mahkamah Konstitusi Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi ke-78 di dunia dan yang pertama didirikan pada abad kedua puluh satu. Dalam kajian Mahkamah Konstitusi Indonesia hingga saat ini, banyak pakar yang mengakui kepemimpinan yang heroik (Stefanus, 2018). Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tidak ada fitur formal yang memungkinkan cabang-cabang politik untuk memeriksa keputusan Yudisial dan mengesampingkan keputusan Mahkamah dengan suara mayoritas biasa atau sebaliknya. Oleh karena itu, Mahkamah masih memiliki kewenangan eksklusif untuk melakukan pengujian konstitusional. Menurut Jimly Asshiddiqie, berdasarkan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi Indonesia adalah penjaga konstitusi tentang empat hal tersebut di atas kewenangan dan satu kewajiban. Hal ini juga membawa konsekuensi bagi Mahkamah Konstitusi Indonesia sebagai penafsir tunggal konstitusi. Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan asas demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia hak-hak yang dijamin dalam konstitusi. Berdasarkan gagasan ini, hak asasi manusia menjadi hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, MK juga telah berfungsi sebagai penjaga demokrasi, yaitu pelindung hak konstitusional warga negara, dan pelindung kemanusiaan.

Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan undang-undang pada bulan Agustus 2003 Segera setelah itu, masing-masing Mahkamah Agung, parlemen nasional (Perwakilan Raykat, DPR) dan Presiden memilih tiga hakim untuk bertugas di Pengadilan. Hakim-hakim ini kemudian diangkat dengan keputusan presiden dan Pengadilan mulai menerima kasus. Padahal beban perkara MK hampir secara eksklusif terdiri dari perkara uji konstitusional dan sengketa pemilu. MK memiliki tiga fungsi lainnya, salah satunya adalah 'memutuskun' pembubaran partai politik (Simon, 2015). Fungsi lain Mahkamah adalah menyelesaikan perselisihan Yurisdiksi antara Lembaga-lembaga negara yang dibentuk oleh Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Indonesia dipercayakan dengan fungsi-fungsi tertentu. Namun, mereka tidak sepenuhnya memperhitungkan pembentukan Mahkamah Konstitusi.

Dalam beberapa kasus, Mahkamah konstitusi meminta pemerintah untuk menafsirkannya. undang-undang dengan cara tertentu atau petunjuk yang ditentukan untuk membantu pemerintah melaksanakan undang-undang. Kedua, Pengadilan mengeluarkan solusi yang lemah dalam berbagai bentuk, seperti deklarasi yang ditangguhkan yang menahan keputusan ketidakabsahan untuk jangka waktu tertentu di mana pemerintah harus mengadopsi rencana baru untuk menggantikan undang-undang; "perwujudan progresif," yang memungkinkan negara untuk mengambil langkah-langkah tambahan untuk mencapai realisasi penuh dari hak-hak konstitusional; dan "pengurangan prospektif," di mana keputusan Pengadilan hanya akan berlaku untuk kasus-kasus di masa depan.

Putusan MK pada dasarnya merupakan putusan deklaratif, dimana Mahkamah berwenang untuk mengeluarkan penafsiran atas konstitusionalitas undang-undang tetapi, itu hanyalah sebuah opini penasehat. Oleh karena itu, jenis upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pengadilan hanyalah bantuan deklaratif. Efek dari keputusan Pengadilan bertumpu pada otoritas moralnya dan kesediaan cabang-cabang politik lainnya untuk mengikuti keputusan atau berupa putusan penghapusan  (Stefanus, 2015). Namun pada awal tahun 2020 terjadi polemik pada salah satu puitusan MK yaitu pada putusan MK Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 didalam UU 7 tahun 2020.

Penghapusan ayat ini menjadi kontroversi di masyarakat usai penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Sebab, narasi yang beredar adalah putusan MK bisa tidak ditindaklanjuti DPR dan pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud untuk mengkaji dampak dari ditemukannya penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020 terhadap sistem hukum. Alasan Mahkamah Konstitusi melakukan penghapusan tersebut adalah demi terwujudnya keadilan substantif (keadilan yang hakiki dan dirasakan oleh masyarakat sebagai keadilan yang nyata) adalah masalah yang perlu dipelajari lebih lanjut mengetahui relevansi konsep keadilan substantif dalam mewujudkannya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang menegakkan dan mengawal konstitusi dalam Indonesia.

 

b.      Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :

1)      Bagaimana bentuk putusan Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020?

2)      Bagaimana dampak Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020?

 

2.        Metode

a.      Design penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian hukum doktrinal atau hukum teoritis riset. Hal ini dikarenakan penelitian normatif ini berfokus pada penelitian tertulis yaitu menggunakan data sekunder seperti menggunakan peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan teori dan dapat berupa karya ilmiah ulama. Berbagai aspek diperiksa dalam jenis penelitian normatif ini (Fajar dan Ahmad, 2010).

 

b.      Sumber Data

 Secara umum jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh orang lain. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Seperti penelitian ini Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, data sekunder berupa dokumen hukum dan data kasus-kasus yang lebih disukai untuk dijadikan penelitian. Riset hukum bahan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum sekunder. Data sekunder dalam penelitian adalah bahan hukum yang diambil dari literatur kajian yang terdiri dari bahan hukum primer, hukum sekunder dan non hukum bahan. Data sekunder diperoleh dengan dokumentasi dan studi literatur yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana dan teori yang mendukungnya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data sekunder, yaitu: terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. ‘

1.                   Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang utama yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi, atau berita acara pembuatan undang-undang dan peraturan. Berikut ini adalah hukum berikut bahan yang peneliti gunakan:

1. Putusan pada UU 7 tahun 2020

2. UU cipta kerja no 39 tahun 2020

3. Ketetapan MPR III/MPR/2000

4. Pasal 24C (1) dan (2) UUD 1945.

 

2.                   Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang membantu untuk menjelaskan bahan hukum primer yang ada yang juga dapat membantu peneliti untuk melakukan lebih banyak analisis dan memiliki lebih dalam pemahaman terhadapnya, bahan hukum sekunder terdiri dari: jurnal, buku, laporan, dan sumber berbasis internet. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan setiap data yang digunakan peneliti adalah data sekunder. Jadi akibatnya peneliti sangat bergantung pada penggunaan metode penelitian kepustakaan. Perpustakaan metode penelitian berarti peneliti mengumpulkan semua data dari peraturan, jurnal, buku, website, kamus.

 

c.       Pengumpulan Data

Langkah-langkah untuk menganalisis data dilakukan dengan mengumpulkan data dan dokumen yang berkaitan dengan Pengertian Hukum terkain Mahkamah Konstitusi, sejarah berdirinya MK, fungsi MK, dan Kewenangan MK.

 

.

d.      Klasifikasi Data

Menurut Sugiyono, (2014) analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis transkrip dokumen yang terkumpul, catatan lapangan, dan bahan lain yang Anda menumpuk untuk meningkatkan pemahaman Anda sendiri tentang mereka dan untuk memungkinkan Anda mempresentasikan apa yang telah Anda temukan kepada orang lain. Peneliti menggunakan metode pengumpulan, kemudian mereduksi data, membuat kesimpulan dan merepresentasikan data.

 

3.        Pembahasan

A.    Putusan Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020

a.       Putusan Nomor 49/Puu-IX/2011

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Menimbang

a.       bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;

b.      bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah beberapa kali diubah yaitu dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan www.peraturan.go.id 2020, No.216 -2- Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan sehingga perlu diubah;

c.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

Menetapkan : Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan ayat (2) Pasal 59 dihapus sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut: Pasal 59

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.

(2) Dihapus.

 

Naskah UU 7/2020 Pasal 59 ayat (2) itu mulanya berbunyi: Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). dengan dihapusnya Pasal 59 ayat (2) itu, kalaupun menang judicial review di MK, tidak ada kewajiban dari DPR dan Pemerintah untuk menindaklanjuti putusan itu. Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie, juga menegaskan bahwa putusan lembaga yang melakukan uji materi tersebut sah dan mengikat karena sudah dibacakan dan tidak memerlukan eksekusi. Melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (13/10), menurutnya, Pasal 59 ayat (2) UU MK sering disalahpahami.

.

b.      Latarbelakang Putusan

Menurut Abadi, (2014) memaparkan bahwa putusan MK bersifat final karena alasan-alasan berikut: Pertama, sifat hukum tata negara sebagai hukum tertinggi; Kedua, menjaga wibawa peradilan konstitusi; dan Ketiga, tidak ada alternatif yang lebih baik.' Argumentasi ini dapat digolongkan sebagai perspektif formal yang melokalisasi status putusan MK hanya sebagai putusan itu sendiri, dan mengabaikan faktor lain yang sangat penting yaitu hubungan antara MK dengan pembuat undang-undang (legislator), yaitu DPR. dari Perwakilan dan Presiden. Menurut Mahkamah Konstitusi pasal 59 ayat 2 UU 7 tahun 2020 bertolak belakang dengan dasar atau prinsip bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Pasal itu sudah dihapus sejak 9 tahun yang lalu maka memang sudah sepantasnya di hapus, karena tidak sesuai dasar hukum. Pasal 59 ayat 2 tidak serta merta dihapus melainkan perintah langsung dari mahkamah konstitusi.

Berdasarkan Pasal 24C ayat [1] UUD 1945 mahkamah konstitusi adalah satu satunya lembaga yang berwenang melakukan pengujian UU setealh MA. Sehingga denga berbagai pertimbangan dan perbandingan maka penghapusan pasal 59 ayat 2 bisa dilakukan sesuai pertimbangan dan perbandingan MK. Sebagaimana dijelaskan dalam buku proyek keadilan konstitusi bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat lebih tinggi. Pencabutan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan apabila peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menampung seluruh atau sebagian materi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. jika materi dalam peraturan perundang-undangan yang baru menyebabkan perlunya mengganti seluruh atau sebagian materi dalam peraturan perundang-undangan yang lama, maka peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai peraturan-peraturan yang bersifat membatasi atau pembatasan-pembatasan terhadap peraturan perundang-undangan. untuk kepastian hukum.

Hal ini dikuatkan oleh pendapat Strauss, (2010) Mahkamah Konstitusi adalah badan tertinggi kekuasaan kehakiman untuk perlindungan konstitusionalitas, legalitas, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. (2) Dalam kaitannya dengan kewenangan negara lainnya, Mahkamah Konstitusi bersifat otonom dan kekuasaan negara yang merdeka. Maka Keputusan Mahkamah konstitusi adalah keputusan tertinggi yang terikat dan tidak bisa dihapus ataupun dicabut oleh pihak lain kecuali Mahkamah Konstitusi sendiri sehingga undang-undang menjadi rancu maknanya ketika pasal 59 ayat 2 di dalam undang-undang nomor 7 tahun 2020 masih tetap dilampirkan karena menurut Karl, (2001) keputusan suatu hukum apabila memiliki makna yang berubah-ubah maka hukum tersebut menjadi invalid dan perlu direvisi.

Mengenai sistem judicial review, Indonesia memiliki dua mekanisme terpisah. Pertama mekanismenya adalah bahwa Mahkamah Konstitusi dapat hanya meninjau konstitusionalitas undang-undang yang diundangkan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mekanisme kedua adalah bahwa hanya Yang Tertinggi Pengadilan dapat menguji keabsahan peraturan di bawah tingkat undang-undang, termasuk Pemerintah Peraturan, Peraturan Presiden, Provinsi Perda dan Perda Kabupaten/Kota. Dualisme ini telah menciptakan setidaknya tiga masalah hukum dalam uji konstitusional sistem di Indonesia. Pertama, jika MK hanya bisa meninjau konstitusionalitas undang-undang, sedangkan Mahkamah Agung dapat meninjau peraturan terhadap undang-undang, tidak bertentangan dengan Konstitusi, tidak ada mekanisme hukum yang disediakan untuk meninjau peraturan atau keputusan yang bertentangan dengan Konstitusi. Dengan kata lain, tidak ada mekanisme yang tersedia untuk meninjau konstitusionalitas peraturan dan keputusan di bawah tingkat hukum

 

B.     Dampak Nomor 49/Puu-IX/2011 tentang penghapusan pasal 59 ayat 2 undang-undang nomor 7 tahun 2020

Ketentuan dalam Pasal 59 Ayat (2) itu dihapus dalam UU MK hasil revisi atau UU Nomor 7 Tahun 2020 yang disahkan DPR pada Selasa (1/9/2020). Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia Said Salahudin menilai pencabutan Pasal 59 ayat (2) UU MK menjadi salah satu alasan sebagian masyarakat ragu mengambil langkah uji materi UU Ciptaker. Penghapusan pasal tersebut oleh sebagian kalangan dianggap sebagai skenario DPR dan Presiden untuk membatalkan putusan MK, sehingga DPR dan Presiden tidak lagi memiliki penilaian atas penilaian MK.

Dengan demikian, anggapan yang dibangun di masyarakat bahwa UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi, maka akan sia-sia karena UU tersebut masih bisa ditegakkan oleh DPR dan Presiden. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan penghapusan Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi tidak mempengaruhi sifat putusan MK yang final dan mengikat. Taufik mengatakan Pasal 59 Ayat (2) dihapus karena memuji putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011. Berdasarkan putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, Prof Saldi Isra, Prof Arief Hidayat sebelum menjadi hakim MK, Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan I (Taufik Basari)-nya pengacara bersama Febri Diansyah, Veri Juandi dan Donald Fariz.

Terkait kekhawatiran masyrakat terhadap putusan ini yang  di hubungkan uu cipta kerja dikarenakan dengan dihapusnya pasal 59 ayat 2 maka dapat memungkinkan segala hal yang di hapus pada uu cipta kerja akan sia sia karena masih dalam wewenang president dan DPR. Uu cipta kerja memilik pasal-pasal yang merugikan pekerja”, antara lain tentang upah rendah, pekerja kontrak, outsourcing, dan pesangon.

Keadaan dalam UU Cipta Kerja memuat Pasal 88C ayat (1) yang menyatakan wajib membentuk provinsi dan Pasal 88C ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan persyaratan tertentu. Menurutnya, frasa “bisa” dalam pasal tersebut sangat merugikan karena menetapkan penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) bukan suatu kewajiban. Putusan yang banyak menarik kontroversi karena dirasa tidak mencerminkan keadilan dan terkesan terpaksa di buat, sehingga terdapat beberapa undang-undang yang diuji atau dilakukan peninjauan ulang. Menurut Strauss, (2010) Konstitusi dirancang dengan dasar hukum tidak realistis untuk mengharapkan proses amandemen yang rumit untuk mengikuti perubahan ini. Jadi tampaknya tak terelakkan bahwa Konstitusi akan berubah juga. Masyarakat adalah objek utama dalam pembuatan putusan maka sudah sewajarnya masyarakat memberikan respon baik positif maupun negatif. Respon tidak semestinya menjadi penghalang, peninggalan yang akan menghalangi kita membuat kemajuan dan mencegah masyarakat kita bekerja sebagaimana mestinya.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai masyarakat tidak perlu khawatir dengan penghapusan Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi atau revisi UU MK. Jika putusan MK menghapuskan, DPR dan Pemerintah juga perlu membuat undang-undang karena mereka tidak dapat mengambil keputusan dari MK karena dapat membuat undang-undang atau membuat undang-undang. Meskipun mekanisme konstitusional review akhirnya terbentuk setelah pembentukan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003, diskusi dan perdebatan tentang perlunya sistem konstitusional review telah terjadi dalam proses penyusunan UUD Indonesia pertama, sebelum kemerdekaan tahun 1945. Dalam rapat dari Komite Investigasi untuk Persiapan Bekerja untuk Kemerdekaan Indonesia (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI) pada bulan Juli 1945, salah satu perancang konstitusi, Muhammad Yamin, mengusulkan agar Mahkamah Agung (Balai Agung) harus memiliki kekuatan untuk meninjau undang-undang tidak hanya bertentangan dengan konstitusi tetapi juga hukum adat dan hukum Islam. Yamin menggunakan istilah 'membanding' (membanding), yang mengacu pada istilah dari 'meninjau' (menguji) (Safroedin, 1995).

Peradilan Tata Usaha Negara mengizinkan orang yang dirugikan atau dirugikan oleh tindakan pemerintah untuk menantang di depan pengadilan. Gugatan itu objek yang diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara adalah perbuatan pemerintah dalam bentuk sebenarnya. Kemudian, perlu untuk melihat perbedaannya antara pengaduan konstitusional dan peninjauan kembali sebagai pendahuluan diskusi. Karena kedua mekanisme ini sangat mirip dan sering disamakan dalam praktek.

Di sisi lain, hal itu tidak begitu akrab di Indonesia masyarakat tentang pengaduan konstitusional. Akibatnya, banyak warga yang ingin membela hak konstitusionalnya tidak menanggapinya melalui mekanisme hukum. Pengaduan konstitusional sering dikaitkan dengan hak konstitusional sebagai kausal hubungan di bawah doktrin konstitusional. Hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin oleh konstitusi. Sementara itu, suatu Pengaduan adalah gugatan yang diajukan oleh seseorang atau warga negara ke pengadilan terhadap kelalaian suatu tindakan pemerintah yang dilakukan oleh suatu lembaga atau masyarakat otoritas, yang melanggar hak-hak dasar yang bersangkutan. Tampaknya bahwa pengaduan konstitusional lebih cenderung mengarah pada pengaduan tentang pelanggaran hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, konstitusi aduan berbeda dengan adanya judicial review, yang memiliki menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

MPR mengeluarkan Ketetapan III/MPR/2000 memberikan kewenangan kepada MPR untuk meninjau konstitusionalitas undang-undang. Doktrin supremasi parlemen menjadi landasan utama dalam membangun mekanisme ini. Namun, itu tidak dapat dikategorikan sebagai mekanisme judicial review karena kekuasaan akan dilaksanakan oleh legislatif, bukan yudikatif. Jadi, ini mekanisme yang paling baik dikategorikan sebagai tinjauan legislatif, bukan tinjauan yudisial. Namun, MPR tidak pernah menggunakan kekuatannya karena sistem tidak jelas. Oleh karena itu, anggota MPR mengusulkan pembentukan lembaga peradilan yang disebut Mahkamah Konstitusi (Francisko, 2006).

Pada awalnya perlu digariskan ruang lingkup suatu konstitusi keluhan. Ruang lingkupnya adalah pembagi dan pembeda antara berbagai pemahaman tentang pengaduan konstitusional. Diskusi ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman dan kesalahan di kemudian hari. Dalam konstitusi konsep pengaduan, setiap tindakan pemerintah yang salah, yang berpotensi melanggar hak konstitusional dapat dilaporkan ke pengadilan. Konstitusional pengaduan menekankan tindakan pemerintah sebagai subjek, bukan undang-undang atau peraturan pemerintah. Subyek ini adalah pejabat pemerintah, baik individu maupun lembaga negara, untuk menjalankan tanggung jawab mereka dan fungsi (Wico, 2021).

 

C.      Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulakan:

1.      Putusan Nomor 49/Puu-IX/2011 Menetapkan : Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ayat (2) Pasal 59 dihapus, sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut: Pasal 59  (1) Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.  (2) Dihapus. Naskah UU 7/2020 Pasal 59 ayat (2) itu mulanya berbunyi: Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Maka Keputusan Mahkamah konstitusi adalah keputusan tertinggi yang terikat dan tidak bisa dihapus ataupun dicabut oleh pihak lain kecuali Mahkamah Konstitusi sendiri sehingga undang-undang menjadi rancu maknanya ketika pasal 59 ayat 2 di dalam undang-undang nomor 7 tahun 2020 masih tetap dilampirkan.

 

2.       Ketentuan dalam Pasal 59 Ayat (2) itu dihapus dalam UU MK hasil revisi atau UU Nomor 7 Tahun 2020 yang disahkan DPR. Penghapusan pasal tersebut berdampak polemik sebagian kalangan dianggap sebagai skenario DPR dan Presiden untuk membatalkan putusan MK, sehingga DPR dan Presiden tidak lagi memiliki penilaian atas penilaian MK. masyrakat terhadap putusan ini yang  di hubungkan uu cipta kerja dikarenakan dengan dihapusnya pasal 59 ayat 2 maka dapat memungkinkan segala hal yang di hapus pada uu cipta kerja akan sia sia karena masih dalam wewenang president dan DPR. Uu cipta kerja memilik pasal-pasal yang merugikan pekerja”, antara lain tentang upah rendah, pekerja kontrak, outsourcing, dan pesangon. Dengan demikian, anggapan yang dibangun di masyarakat bahwa UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi, maka akan sia-sia karena UU tersebut masih bisa ditegakkan oleh DPR dan Presiden. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan penghapusan Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi tidak mempengaruhi sifat putusan MK yang final dan mengikat. Taufik mengatakan Pasal 59 Ayat (2) dihapus karena memuji putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011

 

D.      Daftar Pustaka

Buku.

David A. Strauss. (2010).The Living Constitution. New York: Oxford University Press

Karl Polanyi.(2001). The C^reat Transformation The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press Boston

Mark A. Grab Er. (2013). A new introduction to a amerivan constituition. New york: oxford university press

Mukti Fajar and Yulianto Achmad. (2010) Dualisme Penelitian Hukum Empiris & Normatif, Pustaka Pelajar

Neil Parpwoerth.(2020).Constitutional and administrative law, 11th edition.United Kingdom: Oxfrod University Press

Simon Butt. (2015). The constitutional court and democracy in indonesia.Boston: brill nijhoff

Stefanus hendrianti.(2018). Law and Politics of Constitutional Courts Indonesia And the Search Fro Judicaial Heroes. New York:Routledge

Stephen K. Shaw, William D. Pederson, and Frank J. Williams. (2004). Franklin D. Roosevelt and the tranformation of the supreme court Vol. 3. London: Routledge tylor and francis group.

Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

The Department of Justice and Constitutional Development (DOJ&CD). (2016).Constitutional Justice Project. The Department of Justice and Constitutional Development.London: Human Sciences Research Council

 

Jurnal

Francisco R. Romeu,(2006).The Establishment of Constitutional Courts: A Study of 128 Democratic Constitutions”, Review of Law & Economic, Vol. 2 No. 6, August 2006, Berlin: De Gruyter, pages 103-135.

Heribertus Jaka Triyana. (2015).The Role of the Indonesian Constitutional Court for An Effective Economic, Social and Cultural Rights Adjudication. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Constitutional Review, May 2015, Volume 1, Number 1

John Ferejohn.()2002) Constitutional Courts as Deliberative Institutions: Towards an Institutional Theory of Constitutional Justice. New york university. Wojciech Sadurski (ed.), Constitutional Justice, East and West, 21-36 Kluwer Law International. Printed in Great Britain.

Luthfi Widagdo Eddyono. (2018). The Constitutional Court and Consolidation of Democracy in Indonesia. Center for Research and Case Study and Management Information and Communication Technology of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia journal of the Constitution, Volume 15, Number 1, March 2018

Saafroedin Bahar et al, (1995). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 26 Mei 1945 - 22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia

Standy Wico.(2021). The Future of Constitutional Complaint in Indonesia: An Examination of Its Legal Certainty. Indonesian Journal of Law and Society (2021) 2:1 59-78 ISSN 2722-4074 | https://doi.org/10.19184/ijls.v2i1.21449 Published by the University of Jember, Indonesia

Stefanus Hendrianto.(2015). Convergence or Borrowing: Standing in The Indonesian Constitutional Court. Santa Clara University School Of Law, Santa Clara Jesuit Communtiy, 500 El Camino Real. Constitutional Review, May 2015, Volume 1, Number 1

RSTP Pengacara
Negara yang kuat di bangun atas pondasi yang kokoh berdasarkan
"Tuhan Yang Maha Esa"

Kebenaran itu ada kalau tahu sumbernya, hukum bisa ditegakkan kalau tahu caranya, sumber dari segala kebenaran dan keadilan adalah
"Tuhan Yang Maha Esa"